Selasa, 28 Februari 2017

KISAH DIBALIK GAPURA MEGAH di UNDAAN




 Salah satu gapura di undaan


 Dari 16 desa yang ada di Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, sebanyak 9 di antaranya memiliki gapura yang megah. Ada rahasia tersendiri, kenapa pemerintah desa (pemdes) setempat membangun gapura megah.
Selain sebagai penanda keberadaan sebuah desa, gapura-gapura itu juga memiliki fungsi lain. Meski tidak semua desa memiliki gapura yang megah, namun gapura memang menjadi salah satu ciri khas desa-desa di Kecamatan Undaan.
Perangkat Desa Undaan Tengah Mufthonuddin mengatakan, untuk desa yang mempunyai gapura megah itu ada 9 wilayah. Yaitu Desa Ngemplak, Wates, Undaan Lor, Undaan Tengah, Undaan Kidul, Sambung, Medini, Kalirejo, dan Lambangan.
Selain itu, kesembilan desa yang mempunyai gapura juga berada tepat di jalur utama Kudus-Purwodadi. Sehingga gapura tersebut bisa dijadikan penunjuk alamat di saat ada pelancong atau tamu luar daerah melintasi wilayah itu.
”Akan tetapi untuk desa yang ada di wilayah pedalaman, kemungkinan juga mempunyai gapura. Namun gapura itu berupa selamat datang yang berada di luar desa. Serta gapura di pintu masuk kantor balai desa. Seperti halnya Desa Glagahwaru, Karangrowo, Kutuk, Larikrejo, Terangmas, Wonosoco, dan Berugenjang,” paparnya.
Terkait adanya gapura megah yang berada di 9 desa di Kecamatan Undaan itu, Mufthonuddin memiliki cerita singkat tentang hal itu. Hanya saja, hal itu memang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Meski banyak yang mempercayainya.
”Ini ada sebuah cerita. Apakah benar atau tidak, kami juga tidak bisa memberikan pembenarannya. Sebenarnya Undaan itu, jika diartikan maka akan ketemu kata ”unda-undaan”. Yang artinya saling bersaing,” katanya.
Kata ”unda-undaan” itu artinya saling bersaing untuk bisa lebih ”tinggi” dari yang satunya. Sehingga rata-rata msyarakat Undaan saling bersaing untuk bisa membangun hal yang menarik serta bagus. ”Salah satunya melalui gapura ini. Sehingga satu sama lain bisa membangun yang lebih bagus dari lainnya,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Mufthonuudin, kata ”unda-undaan” itu bukan berarti untuk menjaga gengsi. Akan tetapi lebih pada meningkatkan jiwa membangun. Dalam pembangunan gapura yang ada di 9 desa, juga sudah diada sejak tahun 1990-an. Dan itupun dari swadaya masyarakat kampung yang ada di masing-masing gang di desa tersebut.
”Waktu itu, biaya pembangunannya juga masih bisa dibilang murah. Satu gapura, dibangun dengan biaya antara Rp 2-4 juta. Tapi, kalau sekarang barangkali bisa mencapai ratusan juta kalau membangun satu gapura,” terangnya.
Dia menambahkan, pada intinya, arti dari ”unda-undaan” itu bukan sekadar diartikan negatif. Yakni saling jaga gengsi. Akan tetapi bisa diartikan secara luas.
”Yaitu bagaimana saling meningkatkan pembangunan, saling memelihara lingkungan kampung dengan cara membuat gapura, dan lainnya. Saling bekerja satu sama lainnya,” imbuhnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar